[CERPEN] Hujan, Pelangi, Tak Seperti
Aku sudah sampai di depan rumahnya. Warna kuningnya memudar dibanding
terakhir kali kulihat. Remang lampu menyinari pintu yang sesaat lagi akan aku
ketuk. Gerimis masih diundang turun, baju dinas yang belum kuganti sepulang
dari kantor masih belum terlalu basah.
***
"Mengapa
kamu baru pulang!"
Aku membayangkan dalam cemas kemarahan Bapak. Lariku semakin melambat,
pundakku sudah tidak kuat. Jalanan becek berlumpur terciprat sampai betis.
Terkadang satu kakiku terperosok dalam ke lubang jalan. Karena saat itu, bulan
masih pudar dalam bayang, tentu bintang pun hilang oleh awan. Tapi itu tak menghalangiku
untuk segera pulang.
Aku berpapasan dengan Bapak di jalan. Sepertinya ia baru saja pulang dari
warung. Ketika melihatku, ia bergegas mendekat, tangannya mengeras tegang,
lantas dengan keras menamparku. Bau alkohol menyeruak ketika ia mulai bicara.
"Kenapa
kamu bawa cewe itu pulang, hahaha!"
Aku hanya diam, tak mungkin aku beritahu kondisi temanku ini kepada orang
yang sedang melantur. Aku terlalu
berharap tentang ekspresi kecemasannya.
Aku bergegas pulang, rumahku sangat jauh dari warung tadi. Aku langsung
masuk tanpa mengetuk. Jejak sandal berbekas di lantai. Lalu segera
membaringkannya di tikar berbolong, tiada alas layak yang kupunya. Aku
mengambil segelas air, jaga jaga jika ia mungkin bangun. Aku tak tahu bagaimana
harus bertindak, hanya ini yang bisa kulakukan.
Kakek tua
melihatku terburu-buru membawa kayu bakar, bibir keriputnya bergerak tatkala
langkah kakiku sampai depan pintu.
"Kamu
kenapa terburu-buru?"
Giginya terus
bergentak akibat hujan, tapi rautnya masih terus tersenyum kepadaku, menantikan
jawaban dari pertanyaannya.
"Ana Bah,
ia dilecehkan lagi di sekolah!", lagi-lagi ia tersenyum. Bahkan ketika jawaban
yang kuberikan bukanlah jawaban yang menyenangkan.
Aku buru-buru masuk ke rumah membawa kayu bakar ke dapur. Aku duduk
berjongkok memasukkan kayu itu ke tungku. Tangan merogoh kantong, berniat
mengambil pemantik yang minyaknya hanya tinggal sekali pakai. Pemantik aku
hidupkan, syukurnya berhasil merambah ke kayu. Membakar hingga menyala terang,
menghangatkan kami berdua. Aku duduk disampingnya.
Hujan masih melingkupi malam, tak menghargai hadirnya rembulan. Begitulah
pikirku yang sedang melamun menantikannya bangun. Padahal aku tahu, kini awal
bulan, ia sedang memperbaharui diri sehingga bisa tampil hebat pada waktunya.
Andaikan hidup seperti itu, memilih untuk berubah, menjadi baru. Mungkin iya
bulan tak menjadi sesuatu yang lain, tetapi baru dalam dirinya adalah
keindahan. Beberapa menit kemudian, dia terbangun.
Plak!
"Berikan duitmu! Kamu kerja bukan untuk makan, tapi untukku!",
Pria pemabuk itu dengan egoisnya berkata seperti itu. Tak ada cara lain, setiap
hari berlalu seperti ini. Pagi dalam hidupku tak pernah ada kokok ayam. Hanya
suara keras tamparan yang sekain nampak tandanya di pipiku.
Hari ini merupakan sebulan setelah peristiwa itu. Ana masih trauma tapi
aku tak bisa terus menemaninya, Ana aku tinggalkan di saung dekat sawah kakek
tua yang kemarin. Aku harus bekerja demi makan dan tentu saja ego Bapak.
Aku melangkah di jalan berbolong, yang penuh air hujan. Lima belas
kilometer kira-kira harus kulalui untuk sampai kebun karet. Aku tiba disambut
pemilik karet, ia mengatakan ada yang memesan karet mentah yang banyak, lebih
dari pesanan yang biasanya. Tentu aku senang, mengangguk dengan tersenyum
kepada pria itu. Karena aku tahu walau harus bekerja lebih lama untuk
mengumpulkan karet tapi itu sepadan dengan upah yang diberikan.
Waktu memasuki senja, aku tak terlalu khawatir perihal Ana. Aku sudah
tinggalkan dua potong roti diatas meja. Kelakar senja masih seperti biasanya,
awalnya ia meliputi langit barat kebun karet dengan indah. Tapi ia segera kabur
bersembunyi di balik Merapi. Aku sedih malam tiba, juga senang pekerjaan ini
segera selesai.
Burung hantu bersiul nyaring, terbang lagi ketika dilempari sandal oleh
Nenek tua yang sedang teliti bekerja. Kami bekerja dengan penuh obrolan, satu
topik berganti ke topik lain yang dijembatani oleh topik lainnya. Tawa canda
ketika kerja lembur lebih seru dari pada hari biasa, kebersamaan dengan
keluarga yang tak resmi ini merupakan bahagiaku.
Waktu berlalu dengan sesaat, bahagiaku masih tak berhenti walau sedang di
jalan pulang. Upah yang didapatkan aku genggam erat. Tangan mengayun, langkah
bergerak santai. Melewati jalanan berbolong dan sederet kebun pisang sepanjang
jalan. Langit semakin hitam, bulan sedang memperbaharui diri, bersembunyi
dibalut legamnya.
Terdengar teriakkan. Tanganku mengayun lebih cepat, kakiku melangkah
lebih lincah. Berjalan menuju berlari hingga sampai di depan rumah. Aku
langsung masuk, mengabaikan pintu. Aku melihat kehinaan, kekejian, kekejaman
yang tak pernah bisa dibayangkan dari seorang bapak di depan anaknya.
Ana menjerit kesakitan. Darah mengalir di bagian belakangnya. Bapak lari
kalang kabut, kabur melalui pintu belakang, tampak tak ada lagi kejantanan
dalam dirinya. Aku segera meraih Ana, mengangkatnya berusaha mencari bantuan.
Tapi malam sudah terlalu larut, gelap gulita menyelimuti. aku hanya bisa
termenung, dan Ana hanya bisa menjerit di depan satu-satunya cahaya, sang
lentera. Tak lama dari lamunan, aku bergerak keluar meninggalkannya sendirian.
Mencari bantuan di gubuk tengah hutan adalah kemustahilan. Tak mungkin seorang
kakek tua itu akan lewat malam-malam begini. Karena memang tak mungkin untuk
datang ke mukim terdekat. Tiba tiba hujan mengguyur tanah yang kupijak, gelegar
guntur tak dapat dihentikan seperti berusaha mengperparah keadaan. Tapi
tanganku berayun cepat, kekuatan yang kupunnya dilepaskan untuk lari menggapai
bantuan.
Aku melewati lagi jalan berbolong itu, terus berlari, terperosok, bangun,
lari, terperosok lagi, semua terus berulang hingga terdapat luka di mana-mana.
Darah mengucur dibarengi air hujan yang
lebih deras lagi. Perih kurasakan, tapi itu tak dapat menghentikan. Dua
kilometer kulalui, ajaib karena mungkin aku seharusnya mati kedinginan. Tapi
cahaya harapan sudah dekat, itu sang lentera! Sesampainya, seorang pria muda
bertoga putih menanyakan kedatanganku. Aku ceritakan semua dengan mulut yang
sudah mulai kaku, kata diucapkan dengan terbata-bata. Aku dibawa masuk untuk
ditolong. Kupikir bukan aku yang perlu kalian tolong, tetapi Ana yang mungkin
masih menjerit di rumah jauh sana.
Setelah bercerita lama dengan penuh kesulitan, ternyata aku berharap
terlalu banyak, pria itu tak bisa menolong. Lagi-lagi karena hujan brengsek
ini. Mengapa Tuhan menurunkannya di saat seperti ini, bukankah Kamu yang
menciptakan jalan untuk melewati kesulitan? Mengapa malah menurunkan sesuatu
yang mengahalanginya.
Ana menghilang, ya dia menghilang ketika mentari telah sejajar dengan
cakrawala. Pria muda itu juga tiba bersamaku menanyakan di mana yang harus ia
tolong. Sungguh kemana kamu pergi?
***
Pintu reyot itu bersuara tidak enak ketika kuketuk. Danang, teman
sebayaku yang menghilang. Aku mengetahui rumah pria ini dari polisi yang baru
mengabari keberadaannya.
"Kemana kamu pergi selama ini?", ia muncul dihadapanku membuka
pintu. Aku termenung teringat masa lalu, menyadari lambatnya aku saat mencari
bantuan saat itu.
"Aku sadar, seharusnya sejak awal aku sudah tahu, bahwa kamu akan menghilang, senyuman adalah kebohongan, dan kodrat Tuhan tak dapat dilanggar. Kamu meninggalkanku yang trauma saat itu. Lalu kakek tua membantu Bapakmu untuk memperkosaku, senyumannya selama ini sungguh palsu, aku tak percaya itu. Dan Tuhan menetapkanku dengan fisik seperti ini, sikap seperti ini, adakah yang bisa diubah? Tak ada! Aku kini menerimanya, kekejian yang dulu kualami sekarang jadi kehidupanku. Rezeki justru turun dari hal yang dulu membuatku mati.".
Sc gambar : Pexels.com
0 comments