[CERPEN] Rumah Tak Bertuhan
Rumah itu sudah tak jadi perhatian, abu berpuluh tahun tersapu angin, kayu yang menghitam kian melepuh pula. Tak ada yang ziarah
kesana, siapa juga yang mau lawatan ke rumah tak bertuhan? Lama kejadian pelik
di tempat ini. Bara dan jeritan, adalah hiasan di Oktober merah 1965.
"Darajat, kita dipanggil Mayjen, segeralah kesana!", Pria
berkumis itu berbalik arah setelah berbicara. Darajat segera bangun dari
duduknya, ia melangkah keluar ruangan beranjang itu, melewati lorong yang
sedikit berlumut. Darajat mengetuk pintu kayu di depannya, seseorang langsung
membukakan pintu. Disana terdapat dua orang, yang satu pria berkumis tadi, dan
satunya lagi Mayjen yang tadi disebutkan pula. Pria bertubuh tinggi gagah itu
menyilakan Darajat dan pria berkumis untuk duduk.
"Negara ini dalam keadaan darurat!", Mayjen itu memulai
pembicaraan. Kumis tipisnya bergerak-gerak mengikuti mulutnya.
"Ada apa memangnya,
Apakah terkait demo kemarin?" Rasa penasaran menyelimuti Darajat,
sepertinya dalam hati, wajahnya menyeringai. Ia berpikir misi inilah yang akan
menuntunnya menjadi seorang Mayjen.
"Negara sedang di
kudeta, Jawa berantakan, dan Presiden tak dapat diharapkan", Mayjen
menjelaskan semuanya tentang keadaan genting negara ini.
Darajat menyiapkan ransel untuk keberangkatan, ia berjalan cepat di
lapangan landas, di belakangnya diikuti pria berkumis yang juga membawa ransel
berwarna sama. Pesawat itu naik, sayapnya diangkat udara, roda depan masuk
kembali ke tempatnya.
Darajat seorang Brigadir jenderal, ia dikirim ke Flores saat
kemerdekaan. Dia jugalah yang menyiar kabar bebasnya bangsa ini. Sebagai mantan
anggota PETA yang ulung, ia langsung diangkat sebagai Brigadir Jenderal.
Begitulah singkatnya, tapi karirnya mandek. Keinginannya menjadi Mayjen tak
pernah tercapai.
Bandung masih dingin hari itu, walaupun banyak suara gemuruh
dimana-mana. Pekikan nama Tuhan banyak terdengar. Seorang pemuda ramping
menyambut kedatangan Darajat. Rumah yang ia datangi merupakan markas ormas yang
Mayjen suruh untuk kunjungi.
"Rumah mana yang akan kita serang anak muda?", Darajat
bertanya tanpa basa basi, sang pemuda dengan gerak gerik hormat menunjukan
lokasi rumah yang akan diserang.
"Rumah siapa ini?"
"Ini rumah seorang aktivis
sayap kiri"
"Baiklah kita langsung bergerak
kesana".
Darajat datang dengan mobil, bersama pemuda tadi. Kali ini pria
berkumis tak ikut karena ditugaskan di tempat lain. Mobil bergerak cepat kearah
timur Kota Bandung. Jalan begitu sepi dari kendaraan, hanya saja banyak pekikan
lantang warga yang marah.
Rumah yang Darajat kunjungi tampak sedang di renovasi setengah
jadi, terdapat banyak kayu tersusun rapi di depannya. Tapi tidak ada satupun
pekerja disina. Warga menunggu kedatangan Darajat menantikan aba aba
penyerangan, lima orang ia perintahkan untuk masuk lewat belakang. Darajat
membuka pagar putih, keluar suara besi tua mengayun dari pagar itu. Lima warga
dan pemuda tadi mengikutinya dari belakang.
Rumah itu sunyi, bahkan burung tidak ada yang tertarik hinggap.
Ember berisi baju yang habis dicuci ada dekat pintu. Darajat tahu ada orang di
dalam sana.
"Masuk!", Darajat memulai aba-aba, "Bunuh penghuni rumah ini,
mereka tak bertuhan".
Pekikan nama Tuhan lantang bersuara. Lima warga masuk mendobrak
paksa. Satu orang pergi ke kamar depan, memergoki seorang nenek tua yang
bersandar di kursi.
"Tuan, apakah orang tua ini
juga harus dibunuh?"
"Bunuh semuanya!", Darajat
tanpa pandang bulu memerintahkan demikian.
Golok tajam menghujam, jantung tua memuncratkan darah yang sama
tua. Tak ada jeritan, orang tua itu tergeletak, matanya sudah buta sejak awal.
Kulit keriputnya yang tampak hidup kini kian bias memutih. Batuk terakhir
keluar dari mulutnya, dahak berdarah memuncrat keluar mengenai kaki warga.
Orang tua itu mati tanpa mengerti.
Di ruang lain warga menemukan seorang perempuan bersama anak kecil.
Perempuan itu tampak tetap tegar tatkala dipergoki, anaknya memeluk membaluti
kakinya. Mereka berdiri dipojok ruangan tanpa membawa apa-apa.
"Kami menemukannya!"
"Segera bunuh!", Sahutan Darajat itu disertai tangisan
anak kecil dari dalam. Ia menjerit melihat keris menghujam dada ibunya,
perlahan keris itu dicabut dan ditancapkan lagi dengan menyebut nama Tuhan.
Darah ibunya mengucur deras, membanjiri wajahnya. Pelukan ia berikan, ibunya
semakin tak berdaya. Jeritan semakin keras. Warga yang resah menendang kepala
kecilnya hingga membentur jendela. Darajat melihatnya, kaca jendela itu pecah.
Anak itu mengerang kesakitan, wajahnya tak bisa dikenali lagi penuh luka campur
darah dirinya dan ibunya.
"Bakar rumah ini tanpa sisa!", perintah Darajat lantang.
Warga yang dari tadi berjaga di belakang memutar menuang bensin di sekitar.
Darajat merogoh kantong, mengambil korek, memantik dan melemparnya ke rumah
itu.
Darajat segera masuk mobil, warga lain berlari mengejar di
belakang. Sebelum suara mesin mobil terdengar, jeritan anak tadi terlebih dulu
keras mengalir. Diiringi ledakan dahsyat yang menghanguskan mayat bersama puing
rumahnya. Kasihan sekali anak itu, mati karena tinggal di rumah tak bertuhan.
Setelah patroli bersama warga ke rumah lainnya, Darajat pulang ke
pos jaga, disana ia sendirian. Membuka kotak catur menggerakkan pion, bermain
dengan dirinya sendiri. Ia tertawa sendiri, mengingat kejayaan yang akan ia
dapatkan. Ratu hitam ia gerakan menyamping, "Skakmat!", tepat saat
suara ratu hitam menyentuh papan, kesunyian pecah dengan meluncurnya sebuah
peluru dari arah pintu mengenai tangan. Papan catur itu berantakan, terhempas
tangan yang berayun tertembak. Peluru kedua datang dan kali ini membuat Darajat
tergeletak tak berdaya. Tak sempat berbicara, mulutnya disumpal pion catur.
"Tak kusangka, kamu menikahi orang tak bertuhan. Tapi tak apa akulah yang akan jadi Mayjen", Darajat tak bisa menjawab perkataan pria berkumis itu, mulutnya penuh pion catur yang tersumpal dalam. Darajat menyadari suatu hal, tentang mengapa ia mati disini, tentang siapa anak tadi, tentang siapa orang tua tadi, dan tentang siapa perempuan tadi. Itu keluarga yang lama ia tinggal, mereka tak bertuhan.
Sumber foto: Hans Isaacson on Unsplash
0 comments