Mynyma
  • Beranda
  • Mahakarya
  • Sastra
    • Faris
    • Ifzal
  • Artikel
    • Faris
    • Ifzal
  • Tentang Kami
    • Faris
    • Ifzal
Diberdayakan oleh Blogger.


"Hanya ketika terang, kamu boleh merindukanku." 

Di Timur, terdapat dua insan yang menunggu semrawut lanskap oranye di penghujung cakrawala yang merayap dari lautan, terkoyak gelombang yang sudah tak berusaha hingga perlahan naik menyusunkan diri menjadi bola kuning panas yang bangkit dari tidur nyenyaknya. Di timur, ombak bersahutan menarik kapal-kapal pelaut yang tak berhenti terombang-ambing tak berdaya.

Di timur, tak pernah ada cerita tentang anak arunika yang terduduk meminum kopi sambil melamun dan berucap puitis menulis lirik magis ala ala Fourtwnty. Membawa gitar, mengalunkan kunci, melepas jiwa dari lelahnya hidup.

Tapi kali ini, di timur akan terbentuk cerita tentang sepasang kekasih yang duduk menjuntai di papan dok pinggir pantai. Menantikan kebangkitan mentari membuka tirai gelapnya malam. 

"Ah aku tak ingin kamu seperti bintang-bintang ini kelak." Ucap seorang wanita sambil merebahkan badan di papan kayu tua yang didudukinya. "Bukan aku tak ingin kehilanganmu, tapi karena aku tak ingin membenci mentari yang telah menghilangkanmu." Lanjutnya tanpa memberi lelaki itu kesempatan untuk menjawab. 

Lelaki itu pun ikut merebahkan badan, memandangi barisan jutaan bintang yang hanya tampak puluhan di matanya. 

"Aku justru ingin kamu bisa lebih menghargai bintang-bintang yang tersisa puluhan ini." Kali ini lelaki itu ikut menyahut mengutarakan keinginan, "Suatu hari akan ku tunjukan jutaan bintang yang bersembunyi di balik tirai malam hari. Di timur, di barat, di mana saja bintang bersemayam, suatu hari akan terbuka wujudnya."

"Aku bersyukur, kamu adalah bintang dan aku arunika, meski tetap tak mungkin bersama, namun kamu bukanlah senja yang sama sekali tak bisa kulihat." 

"Tapi ingatlah, hanya ketika terang kamu boleh merindu." 

Di timur, papan-papan yang mengambang dilepas ikatannya dari bongkahan kayu yang menancap di pesisir. Oleh pria-pria yang tak lagi muda sambil meminum kopi menyusun semangat. 

"Apakah benar sebuah bahtera akan lewat tepat saat arunika?" 

"Ya, kamu akan menyaksikannya." 

"Apa nama bahteranya?" 

"Bahtera rindu." 

Di timur, rindu bukanlah kata klise yang diucap sebatas godaan pada sang pujaan hati yang padahal senantiasa ada di hadapannya. Tapi di timur, rindu adalah sebagai rindu. 

Di timur, para lelaki mulai menaikkan jaring lebar alat penangkap uang yang akan dilempar ke tengah lautan. Memanggil pula seorang lelaki yang tadi terduduk di dok pinggir pantai untuk melaut menjadi bagian dari indahnya arunika. 

"Lihatlah arunika telah muncul!" 

Sebuah bola panas mulai bangkit dari tidurnya, menyebarkan cahaya oranye di penghujung cakrawala. Membuka tirai gulita malam, terang menghapus satu per satu bintang yang berjejer puluhan. Sebuah bahtera rindu, menjauh dari pesisir, lewat menjadi siluet di tengah gelombang oranye yang semrawut di lautan. Sebuah tangan melambai, seakan memberi senyum dan kabar bahwa ia telah jadi bagian dari arunika. 

"Ah benar, aku memang benci mentari!"


Angin mampir menampar keras-keras. Hembusan ditepis gelondongan bambu yang tegak berdiri, menjunjung tinggi angkasa raya. Rumbai daunnya, berjatuhan ada kalanya. Kurangnya satu saja, maka genap sudah jumlahnya.

Meredup lentera terang. Tenggelam hinggap dikeloni sepanjang garis cakrawala. Adakalanya cahayanya mencuat menyeruak menyebar asa yang tersisa ke penjuru langit sana. Membuat senja di timur.

Karena di timur, bukanlah tempat senja bersemayam riang memandang penikmat fourtwnty. Karena di timur, adalah tempat terangkatnya lentera terang yang baru saja dihidupkan.

Kali ini berbeda. Senja itu meracuni awan yang hinggap di langit-langit. Jingga ronanya. Ke sanalah aku menghadap, saat ini, di tempat yang sama saat tonggeret itu bersuara kemarin malam.

Tidak tahu harus mendengarkan nyanyian seperti apa yang menggambarkan hubungan tanpa komunikasi disertai sensasi bertepuk sebelah tangan. Tak ada lagu yang dapat mewakili. Perasaan yang terus bergejolak, menggerogoti mempertanyakan solusi.

Aku tak bisa menyalahkanmu. Karena tahu kamu tak mengerti apa-apa, tentang semua ini, tentang cinta. Namun bukankah kamu sering menonton dan membaca cerita fiksi romansa. Mungkin tak sama, tapi mereka juga menceritakan cinta manusia, dan ditulis pula oleh manusia. Agaknya itu bisa jadi referensi, hanya saran, maaf.

Apakah aku memang memiliki? Sedang kamu masihlah gadis yang belum dipinang sesiapapun. Bukankah aku tak berhak setitikpun memintamu? Atau tidak? Apakah aku berhak meminta walau hanya satu hal saja? Tolong mengertilah, berusahalah, lelaki bau kencur yang 17 tahun lalu baru lahir ini.

Iya aku tahu Doctor, cinta itu tak perlu berbalas. Iya aku seperti orang eksploitatif yang terus berharap dibalas cintanya. Meski ya sudah dibalas juga. Tapi, ah sudahlah. Aku tahu ini hanya perlu waktu, dan akupun akan membantumu untuk mengenal cinta. Cinta yang bukan dari cerita atau novel romansa. Real love that full of philosophia.


Selalu saja, angin malam menenangkan kecemasan hati. Berhembus berasa dan bersuara begitu saja. Diiringi tonggeret berderik keras. Ia jantan, sedang mencari betina untuk dikawini. Ia bersaing dengan jantan lainnya, mencari siapa yang lebih pandai bernyanyi. Jika seekor betina tertarik maka ia akan menghampiri dan mulai kawin. Berbeda dengan manusia yang menginginkan kesetiaan, tonggeret betina akan mati begitu ia meninggalkan telur-telur berisi nimfa calon tonggeret generasi berikutnya. Begitupun si jantan yang bersemangat untuk terus menyanyi selama sisa hidupnya yang hanya dua pekan. Telur-telur itu menetas setelah waktu yang cukup lama, sangat lama. Tujuh belas tahun agaknya ia perlu masa. Hingga menjadi tonggeret dewasa yang hanya hidup 2 pekan tadi, makan, bernyanyi, kawin dan mati.

Merenungkan kehidupan tonggeret yang jika manusia di posisi itu bisa dibilang mengenaskan. Mereka bangun dari inkubasi hanya untuk bercinta namun seperti hewan lainnya, mereka tak memakai cinta.

Aku duduk di pelataran, tempat berlantai dingin yang jadi penghubung lara. Ia dan suara tonggeret itu menjadi orkestra pada malam suntuk tatkala dilema. Ah betapa, mengapa aku hanya bisa berangan dengan duduk bersila. Memandang rembulan penuh yang putih memancarkan cahaya. Menembus gulita malam, hingga lingkaran pelangi tercipta.

Mendengarkan nyanyian-nyanyian penyanyi pria. Yang bercerita, tentang ia dan kisah cintanya. Berpisah dengan dia yang ada di sana. Berpisah dalam jarak. Ada yang merasakan rindu tak dapat bertemu, lantas bersua di jogja, karena tahu ada sesuatu di sana. Ada yang curiga karena melihatnya berbalas pesan di sosial media.

Aku tersenyum-senyum saat mendengarnya. Tak ada merasa ikut rindu jikalau begitu. Karena aku justru mau, terjebak dalam jarak yang jauh bersamamu. Mengikat tali kasih, mengulur dan bawa menjauh. Indah. Celengan rindu itu akan selalu aku isi. Sebanyak yang aku bisa, dan kita pecahkan bersama di Tasikmalaya.

Namun, dalam senyum itu aku bimbang. Betapa aku tahu bahwa keinginan tuk mencintai dari jauh adalah untuk menghindari kontak mata. Kontak mata tanpa berbicara, kontak mata seakan tak saling mencintai, bahkan tak saling mengenali. Sedang aku tahu hanya perlu menyapa, memberi salam atau sekadar berkata 'hai'. Namun aku selalu kalah oleh 'hai' yang lebih keras. Mungkin ini rasanya menjadi tonggeret jantan yang tak lama lagi tiada sedang ia tak dapat-dapat jodohnya. Baru saja ia hampir dapatkan seekor betina, namun harus mengaku kalah oleh jantan lainnya yang lebih bisa bersuara.

Aku lebih baik mati saat itu juga jika aku adalah jantan cemburuan itu. Betapa merusaknya cemburu menggerogoti hati dari dalam. Menghitam ia menghitam, membusuk. Membawa kelam pada alam pikir, membawa kejam pada niat tindak. Tapi malam dapat menderu kejam yang kelam. Jauh-jauh, sehingga aku, dalam cemburuku bisa terus berangan seakan kita berjauhan. Long Distance Relationship istilahnya.



Karya : Bintang

Terkadang, asa enggan untuk di gapai
Tetapi canduku selalu setia melambai
Padanya yang teguh dengan enggan
Lakon sandiwara nya terlalu roman

Tanpa sadar membuat noda pada rasa
Yang tiada bersama tanpa
Meneguk sakit tanpa rupa
Bertangkai-tangkai skema

Yang di lantunkan dalam sikap
Membuat harap akan sebuah dekap

Namun, nyatanya hanyalah tutur
bersenjatakan maki
Dalam pertikaian 
dan harus menelan kesusahan.
Aku yang haus akan pengakuan
Kau yang menggadai senang
dengan segala kepayahan.

Aku hanya punya satu,
Dan bisa-bisanya kau patahkan.
Postingan Lama Beranda

Media Sosial

KARYA POPULER

  • Gurindam
     اِقۡتَـرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الۡقَمَرُ   Saat (hari Kiamat) semakin dekat, bulan pun  terbelah   (Al-Qomar:1)  Karya: Ifzal Mausul M...
  • Katastrope
        Maka terbakarlah api surgawi   Atas kuasa Tuhan seperti   Ciptaan fana adanya   Akulah ciptaan yang dia katakan   Terbanglah! Akan kujat...
  • Dewi Malam
      Karya: Ifzal Mausul Binarmu begitu bena  Di legam malam dunia   Bak tiaranya angkasa   Nan menyejukan jiwa   Binarmu begitu nyata   Dikepe...
  • Gugusan Puisi Bulan
      Ia hanya menenun kain tanpa henti, hari-harinya membelakangi bumi sedangkan aku bersenang-senang dengan mentari. Lantas ketika dia menghad...
  • I See a Dove
      “[Caw], she said ‘at the noon’, I’m not sure what she meant, maybe the title of a novel or something” The sentence came out accompanied by...

Kategori

  • Karya Faris 7
  • Karya Ifzal 6
  • Mahakarya 4
  • Diary 2

Tentangku

FARIS TSANI ADHIRA
Cliché, cliché, cliché again. 
Selengkapnya >

KARYA TERBARU

[CERPEN] Di Timur

Tentangku

IFZAL MAUSUL RAMADHAN W
I have the only one. How could you broke it? 
Selengkapnya >

Copyright © 2016 Mynyma. Created by OddThemes